Di Balik Kanvas: Portofolio, Proses Kreatif, dan Makna Karya

Di mana semua dimulai: portofolio bukan cuma galeri digital

Aku masih ingat menata karya pertama yang kupajang di sebuah folder bernama “Portofolio”. Rasanya seperti merapikan lembar-lembar hidup: ada yang penuh noda cat, ada yang kertasnya kerut karena terlalu sering kusobek-sobek untuk mengubah komposisi. Portofolio bukan sekadar koleksi; dia adalah narasi yang kususun—tentang siapa aku waktu itu, apa yang kupikirkan, dan di mana aku ingin pergi. Malam itu aku menyalakan lampu kuning, ada bau kopi pahit yang sedikit terbakar, dan kucingku duduk di atas tumpukan sketsa seperti juri yang galak.

Menyusun portofolio artinya memilih mana yang diberi ruang, mana yang disimpan di laci, dan mana yang harus kuikhlaskan. Ada rasa sedih ketika melepas karya yang dulu kusebut ‘favorit’. Tapi juga ada lega ketika akhirnya melihat barisan karya yang bicara berurutan—awal, proses, klimaks, dan sisa-sisa pertanyaan.

Proses kreatif: kebetulan atau ritual?

Bagi orang luar, prosesku mungkin terlihat acak: pagi melemparkan cat di kanvas, siang belajar teori warna, sore menunggu inspirasi menyerang. Padahal ada banyak ritual kecil: menyapu debu di meja kerja, menyiapkan playlist lama yang selalu membuatku fokus, menulis satu kalimat pendek sebelum mulai supaya tangan tahu arah. Kadang inspirasi datang seperti tamu tak diundang—mendadak dan sedikit memalukan, seperti saat aku tiba-tiba ingin melukis pemandangan dari memori lama yang sudah kusimpan sejak kecil.

Aku sering membuat thumbnail. Bukan thumbnail YouTube—tapi sketsa kecil sebanyak mungkin sampai ada yang bilang, “Nah, itu dia.” Ada juga kebiasaan buruk: terlalu banyak revisi sampai karya kehilangan jiwa. Aku belajar menghentikan diri. Mengizinkan ketidaksempurnaan kadang membuka ruang yang lebih jujur. Dalam proses itu aku tertawa (kadang mengejek diri sendiri), menangis kecil ketika warna nggak mau nyatu, dan menjerit pelan saat menemukan kombinasi yang membuat jantung kutarik kebelakang.

Apa arti sebuah pameran buatku?

Pameran pertama masih terasa seperti mimpi setengah sadar. Menyusun karya di dinding galeri membuatku sadar bahwa karya yang selama ini kupandang sendirian akan dilihat oleh orang lain—termasuk tetangga yang biasanya hanya menyapa saat aku buru-buru membawa sampah ke luar. Ada deg-degannya sendiri: apakah orang akan paham? atau justru tertawa terselubung? Aku ingat, pada pembukaan pameran, seorang anak kecil menunjuk satu lukisan dan berkata, “Itu seperti awan sedih.” Sederhana, tapi membawa rasa hangat dan terkejut yang aneh.

Pameran juga mengajarkan soal kurasi—bagaimana memilih karya yang ketika digabungkan menjadi percakapan, bukan pameran yang ramai tapi kosong. Aku belajar menulis label singkat yang jujur, bukan hiperbola. Menempatkan karya di ruang yang salah bisa merusak narasi; menempatkannya dengan benar bisa menyalakan percakapan. Dan percakapan itu penting: pengunjung datang membawa pengalaman mereka sendiri, yang seringkali mengubah makna karyaku di matanya.

Makna karya: untuk siapa aku berkarya?

Karya seni sering kali lahir dari kebutuhan pribadi—untuk memproses kehilangan, merayakan kebahagiaan, atau hanya untuk bertanya ketika kata-kata tidak cukup. Namun begitu karya itu keluar dari studio, ia menjadi kaca yang memantulkan banyak wajah. Satu lukisan bisa berarti sesuatu yang sangat berbeda bagi dua orang yang berdiri berhadapan dengannya. Itu bagian yang membuatku merasa hidup: seni sebagai ruang dialog.

Aku terinspirasi melihat portofolio seniman lain—bagaimana mereka menata perjalanan visualnya, bagaimana pameran mereka mengisahkan proses. Salah satu link yang pernah kubuka tengah malam sambil ngantuk adalah laurahenion, yang membuatku berpikir ulang tentang bagaimana portofolio bisa menjadi arsip sekaligus peta jalan. Kadang orang bertanya, “Untuk siapa kamu berkarya?” Jawabanku berubah setiap hari. Kadang untuk diri sendiri; kadang untuk barisan orang asing yang akan menatapnya di galeri; kadang untuk nenek yang dulu mengajarkan cara menggulung kuas.

Akhirnya, portofolio dan pameran bukan hanya soal terlihat. Mereka soal jujur. Menunjukkan keraguan, kegagalan, dan momen-momen kecil yang lucu—seperti cat yang tumpah dan meninggalkan jejak seperti pulau kecil di lantai studio. Dalam tiap goresan ada cerita, dalam tiap pameran ada percakapan, dan dalam tiap portofolio ada peta yang mungkin tak sempurna tapi nyata. Itulah yang kusimpan: bukan hanya karya yang apik, tapi jejak perjalanan yang membuatku tetap berkarya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *