Di Balik Kanvas: Portofolio, Proses Kreatif, dan Cerita Pameran

Portofolio buat saya bukan cuma album rapi yang dipakai saat melamar residensi atau mengirim proposal. Ia seperti lemari pakaian — kadang penuh baju yang belum pernah dipakai, kadang ada satu jaket yang selalu kembali saya pilih karena nyaman. Menyusun portofolio adalah menata ingatan visual, memilih mana yang mewakili suara kita sekarang, bukan suara yang kita harap-harap bisa terdengar. Yah, begitulah: ada rasa nostalgia, ada juga rasa malu melihat karya lama yang menurut saya sekarang terlalu polos atau berlebihan.

Menyusun Portofolio: Lebih dari Sekadar Kumpulan Gambar

Saat saya mulai merapikan file digital dan foto cetak, saya selalu bertanya, “Apa cerita yang ingin kukisahkan?” Portofolio yang baik punya benang merah — entah tema warna, teknik, atau narasi personal. Bisa jadi benang itu samar, tapi kalau disusun dengan niat, penonton akan menangkap ritmenya. Saya pernah menaruh tiga lukisan besar yang menurut saya saling melengkapi di akhir portofolio; ternyata kurator yang melihatnya langsung paham hubungan emosionalnya. Itu momen kecil yang bikin percaya diri lagi.

Praktisnya, portofolio juga harus fleksibel. Untuk aplikasi beasiswa saya menukar beberapa karya menjadi versi lebih ringkas, lalu menambahkan penjelasan singkat tentang proses. Ada juga portofolio yang sengaja dibuat tematik — misalnya hanya karya-karya yang menggunakan cat minyak. Percayalah, curating itu kerja seni tersendiri: memilih apa yang dipotong, apa yang dipertahankan, dan kapan sebaiknya menunjukkan sesuatu yang raw dan belum selesai.

Proses Kreatif: Kacau, Tapi Ada Polanya

Proses kerja saya seringkali berantakan. Meja penuh kuas, secangkir kopi setengah dingin, playlist yang berubah-ubah sesuai mood — kadang saya duduk menatap kanvas selama berjam-jam tanpa satu warna pun menempel, lalu di hari lain tiba-tiba semua potongan jatuh pada tempatnya. Proses kreatif itu bukan linear; ia melingkar, mundur, dan kadang tertawa melihat upaya kita. Saya belajar menerima fase-buntu sebagai bagian alami. Justru dari situ sering muncul gagasan paling orisinal.

Saya juga punya ritual kecil: berjalan-jalan di sore hari sambil membawa sketsa kasar. Banyak ide yang datang saat saya tidak memaksa. Misalnya, sebuah tekstur yang muncul dari main-main dengan cat akrilik di pojok kanvas akhirnya menjadi motif utama di seri berikutnya. Jadi jangan remehkan gangguan kecil — ia sering jadi bahan bakar kreativitas. Kalau sedang stuck, saya membuka akun seniman lain atau blog pameran, dan seringkali menemukan percikan inspirasi; pernah saya menemukan referensi menarik di laurahenion yang membuka perspektif baru tentang penggunaan ruang negatif.

Apa Makna di Balik Setiap Karya?

Banyak orang bertanya apakah setiap lukisan saya punya “makna” eksplisit. Jawabannya: ada yang memang punya cerita berat di baliknya, ada juga yang lahir dari eksplorasi formal tanpa pesan besar. Bagi saya, makna bisa bersifat pribadi atau kolektif. Satu karya mungkin terinspirasi dari kehilangan, tapi penonton bisa menemukan kenangan sendiri di situ. Itu yang saya suka: karya yang bersifat terbuka, memberi ruang interpretasi. Saya pernah menulis catatan kecil untuk beberapa karya dalam pameran agar penonton punya pintu masuk, tetapi kadang saya biarkan karya berdiri sendiri tanpa penjelasan.

Saat menulis statement pameran, saya berusaha jujur namun tidak memaksakan interpretasi tunggal. Seni seharusnya memancing dialog, bukan memberikan jawaban pasti. Beberapa karya pun berubah makna seiring waktu — yang dulu terasa sebagai kemarahan kini, bertahun-tahun kemudian, saya lihat sebagai pelajaran tentang kelembutan. Itu membuat proses berkarya terasa hidup dan terus berkembang.

Pameran: Keringat, Gelak Tawa, dan Post-it

Pameran selalu jadi campuran emosi: persiapan yang melelahkan, malam pemasangan yang penuh tawa dan frustrasi, hingga hari pembukaan yang mendebarkan. Ada momen-momen absurd: kabel yang salah pasang, lampu yang bikin warna berubah total, atau pengunjung yang bertanya “Ini abstrak apa realis sih?” sambil menatap lukisan saya. Saya belajar untuk menerima kekacauan itu sebagai bagian dari ritual pameran — tanpa itu, rasanya kurang “nyata”.

Yang paling berharga menurut saya adalah percakapan yang lahir di ruang pamer. Pengunjung yang berbagi cerita hidup mereka terkait karya saya, kritikus yang memberi masukan tajam, teman-teman yang sengaja datang membawa makanan sederhana sebagai dukungan — semua itu memberi energi baru. Di akhir hari, ketika saya duduk melihat deretan karya di dinding, saya merasakan kombinasi lega dan rasa ingin mencoba hal baru lagi. Yah, begitulah seni: selalu bergerak, selalu ada bab selanjutnya.

Menutup tulisan ini, saya cuma ingin bilang: portofolio, proses, dan pameran itu bagian dari satu ekosistem yang saling memberi makan. Jaga kejujuran dalam bekerja, berani merapikan pilihan, dan jangan takut membiarkan karya bicara sendiri. Siapa tahu, dari halaman-halaman portofolio yang kelam muncul seri yang akan jadi jembatan ke hal yang tak terduga.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *