Perjalanan di balik layar karya
Punya portofolio seni itu seperti membawa buku catatan perjalanan yang berantakan tetapi jujur. Di halaman-halaman itu, saya menaruh sketsa-sketsa kasar, foto-foto instalasi, catatan ukuran, dan screenshot ide-ide yang datang tengah malam. Banyak karya lahir dari dua hal sederhana: hidup sehari-hari yang biasa saja, dan rasa penasaran yang tidak mau absen. Saya sering melihatnya sebagai peta pribadi, bukan katalog galeri, karena di sanalah saya menandai berbagai eksperimen yang membentuk suara visual saya.
Ketika menata portofolio, saya belajar bahwa konten yang bagus bukan sekadar beragam teknik, melainkan kisah yang saling berkaitan. Satu karya bisa berelasi dengan yang lain lewat motif, warna, atau ritme komposisi yang sama. Saya mulai menyusun seri kecil, tematik, atau perjalanan dari gelap ke terang. Dalam prosesnya, saya sering memotong bagian yang tidak relevan, menyisakan elemen yang punya makna. Yah, begitulah: fokus lebih penting daripada banyaknya eksperimen.
Proses kreatif: dari kilat ide ke ujung kuas
Proses kreatif bagi saya seperti menunggu kilatan cahaya yang menggeser kabut. Ide bisa datang ketika saya mandi, saat saya berjalan jauh, atau ketika menatap palet warna di meja kerja. Saya biasanya membuat catatan cepat, sketsa-sketsa kecil yang dilipat di dalam buku catatan, lalu mulai menata layout visual yang akhirnya jadi rancangan karya. Dari situ saya memilih teknik yang paling pas: kadang akrilik tebal, kadang kolase, kadang eksplorasi digital yang memberi saya kebebasan berekspresi tanpa kehilangan kedalaman materi.
Proses tidak berjalan sendiri. Saya suka melibatkan teman, kurator, atau guru seni yang bisa memberi kritik yang membangun. Terkadang komposisi terasa oke buat saya, tapi setelah didengar pendapat orang lain, ternyata ada elemen yang membuat mata sibuk atau bingung. Kritik yang sehat seperti lampu di studio: tidak menyakitkan, namun cukup terang untuk mengarahkan langkah. Tanpa masukan mereka, karya saya bisa terlalu nyaman, malah kehilangan tarikan yang membuatnya hidup.
Pameran sebagai momen refleksi
Pameran bukan sekadar memamerkan karya; itu adalah sebuah percakapan antara objek seni dengan ruang, pengunjung, dan waktu. Saya pernah merasakan bagaimana suara ruangan, cahaya, dan jarak antara karya dengan orang bisa mengubah arti setiap potongan. Persiapan teknisnya sering mengganggu, dari packing instalasi hingga logistik kurasi; tapi semua itu bagian dari proses agar pesan yang saya coba sampaikan bisa tersampaikan dengan jelas. Dalam satu pameran kecil, saya belajar membaca ritme orang yang berjalan mengelilingi instalasi seperti membaca bab-bab buku.
Istirahat sejenak di museum, saya melihat bagaimana kurator menata karya dengan narasi tertentu. Setiap label teks, pencahayaan, dan jarak pandang seakan menambah atau mengurangi sesuatu. Pengunjung sering memberi saya hal-hal kecil: komentar tentang warna, atau cerita pribadi yang terhubung dengan karya. Itulah momen saya merasa portofolio menjadi hidup, bukan sekadar koleksi benda. yah, begitulah bagaimana sebuah pameran bisa menjadi pengalaman sensori, dan juga emosional.
Makna di balik setiap garis
Di balik setiap garis, warna, dan permukaan, ada cerita yang saya simpan rapat-rapat. Warna merah bisa berarti gairah, kehilangan, atau hanya keinginan untuk melihat sesuatu tampak lebih dekat. Garis-garis tipis sering saya pakai untuk mengingatkan diri bahwa tidak semua hal perlu ditegaskan; kadang keheningan lebih kuat. Banyak karya lahir dari penolakan terhadap kenyataan yang terlalu jelas, dan saya menaruh bagian-bagian itu dengan sengaja agar orang bisa menafsirkan sendiri.
Makna bukan milik saya sepenuhnya; ia mengembara melalui mata orang yang melihat. Setiap penafsiran bisa menambahkan lapisan baru, dan itu yang membuat portofolio tetap hidup setelah karya itu berpindah ke ruangan lain atau koleksi orang lain. Kadang saya menuliskan catatan singkat di margin halaman portofolio tentang niatan tertentu, tapi saya juga membiarkan ruang bagi kejutan pembaca. Itulah, ya, rahasia sederhana yang sering terlupa: biarkan karya berbicara sendiri.
Sebagai sumber inspirasi, saya sering mengambil pelajaran dari komunitas dan galeri daring. Saat penat, saya membuka portofolio online seniman lain untuk melihat bagaimana mereka mengatur ritme visual dan bagaimana narasi mereka terjalin melalui material. Inspirasi itu tak membuat karya saya menirunya, melainkan memberanikan saya untuk berani mengambil jalur yang unik. Lihatlah contoh inspirasi yang sering saya rujuk, termasuk laurahenion, yang mengajari saya bagaimana menjaga ritme warna dan ruang dalam satu bingkai.
Bagi siapa pun yang melihat portofolio ini, saya berharap ada kehendak untuk kembali lagi, melihat perubahan dari waktu ke waktu, dan merasa dekat dengan emosi yang mencoba saya wakili. Portofolio adalah perjalanan pribadi, sebuah jurnal visual yang tidak pernah selesai. Jika kamu ingin melihat bagaimana karya-karya berkembang, datanglah ke pameran berikutnya, atau cukup ikuti pembaruan di halaman ini. Dan ya, saya senang jika kamu membawa cerita mu sendiri untuk dibawa pulang—yang penting, kita tetap bertemu di sana.