Di Balik Kanvas: Portofolio, Proses Kreatif dan Cerita Pameran

Di Balik Kanvas: pembukaan ala diary

Beberapa hari lalu aku lagi ngecek portofolio lama, sambil ngelus-ngelus rambut yang makin sering berantakan tiap mau pameran. Rasanya lucu kalau ingat dulu aku kira portofolio itu cuma kumpulan karya rapi dalam map; sekarang tahu, portofolio itu lebih kayak playlist hidup—ada lagu galau waktu patah hati, ada EDM waktu semangat, dan ada juga suara radio rusak yang entah kenapa selalu muncul pas aku mau cari mood. Tulisan ini bukan esai akademis, lebih mirip curhatan: bagaimana aku menyusun karya, proses kreatif yang kadang absurd, dan cerita kecil di balik pameran terakhir.

Moodboard vs Mie Instan: proses kreatif itu kenyataan

Proses kreatifku sering dimulai dari hal sekecil noda kopi di kertas. Di kepala sih mau jadi lukisan besar yang dramatis, tapi kenyataannya moodboard-ku penuh gambar kucing, resep, dan potongan majalah. Kadang ide muncul begitu saja di tengah malem, bikin aku terbangun dan nulis di ponsel—lalu besoknya lupa lagi. Ini nyata: ide itu ngga setia, jadi aku harus ngejar. Aku pakai kombinasi cat minyak, kolase, dan kadang aplikasi digital untuk mockup. Ada ritual lucu: sebelum mulai, aku selalu dengerin playlist khusus—kadang lagu sedih supaya warna jadi “sedih” dan bukan cuma kebetulan. Proses itu kacau, berantakan, tapi menyenangkan seperti bikin mie instan pakai topping yang nggak cocok — aneh tapi sering berhasil.

Portofolio: bukan cuma pamer, tapi juga refleksi

Portofolio buatku lebih dari sekadar etalase. Ini cermin perjalanan, dokumentasi percobaan yang berhasil dan gagalnya. Satu hal yang aku pelajari: jangan takut masukin karya yang “jelek”. Kadang karya yang menurut orang lain gagal justru nunjukin proses belajar yang penting. Pengunjung pameran suka tanya, “Kamu selalu begitu?” dan aku jawab, “Enggak, aku juga manusia yang sering salah pilih warna.” Di portfolio aku tambahin sedikit caption personal—cerita singkat tentang kenapa aku buat karya itu, bahan yang dipake, atau perasaan yang melatarinya. Banyak kolega bilang itu bikin karya lebih ‘hidup’ karena ada konteks manusia di balik kanvas.

Di antara stres dan kopi: persiapan pameran

Pameran itu kombinasi antara kegembiraan dan stres akut: ada yang harus dipilih, dicetak, diberi frame, dipasang label, dan tentu saja doa biar tidak ada pengunjung yang nabrak artwork. Aku ingat waktu pameran pertama, aku berdiri di tengah ruang galeri dengan ekspresi antara bangga dan kepikiran buat beli kue ulang tahun sendiri. Persiapan termasuk memikirkan lighting, urutan karya sesuai narasi, dan bahkan playlist ruang — semua detail kecil itu bisa ngubah pengalaman pengunjung. Seringnya tim kurator jadi penyelamatku, membantu menata karya supaya enggak berantakan kayak lemari baju pas lagi buru-buru.

Hal-hal kecil yang bikin karya jadi cerita

Karyaku seringkali hasil dari momen-momen kecil: percakapan random, bau hujan di trotoar, atau kalender lama yang nemu foto yang lupa disimpen. Ada satu lukisan yang awalnya cuma eksperimen warna, lalu berubah jadi refleksi tentang hubungan yang renggang. Aku suka menambahkan objek sehari-hari dalam lukisan—sticker, potongan kertas, bahkan tiket bus—biar pengunjung bisa nemuin “jejak” kehidupanku di situ. Makna di balik karya itu seringkali bukan jawaban pasti, tapi ruang untuk obrolan. Aku cinta saat pengunjung bilang, “Buat aku, ini tentang ibu,” padahal aslinya aku nggak mikir soal ibu sama sekali. Itu seni: karya hidup di kepala orang lain juga.

Moment ngga terduga: obrolan yang bikin nangis

Pernah suatu kali ada pengunjung datang sambil bawa foto lama, lalu cerita gimana lukisanku mengingatkannya pada orang yang sudah pergi. Kita berdua jadi nangis di tengah galeri—bukan karena dramatis, tapi karena karya berhasil nyentuh. Momen-momen kayak gitu yang bikin semua keringat dan deadline terasa worth it. Aku ngga pernah pengin karya cuma jadi objek yang dipandangi, aku pengin karya itu jadi jembatan buat emosi. Makanya aku sering taruh ruang di label karya untuk pertanyaan kecil, supaya orang bisa mikir dan ngobrol, bukan cuma selfie di depan kanvas.

Penutup: pameran bukan akhir, cuma bagian dari cerita

Di akhir hari, pameran itu bukan final. Itu checkpoint. Portofolio terus berkembang, proses kreatif tetap berputar-putar kayak lagu yang stuck di kepala, dan cerita yang muncul di pameran akan jadi bagian dari karya selanjutnya. Kalau kamu penasaran pengin lihat contoh portofolio yang rapi berantakan, aku pernah terinspirasi lihat karya orang lain di laurahenion—dan itu memancing ide baru yang agak gila. Jadi, kalau kamu punya karya—jangan simpen di lemari aja. Bawa keluar, pajang, bikin rame. Kita sama-sama belajar, salah, ketawa, dan ngopi di belakang kanvas.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *