Saya selalu merasa portofolio itu seperti kotak memo hidup seorang seniman—bukan sekadar kumpulan gambar, tapi jejak kebingungan, kegembiraan, kegagalan, dan keputusan yang akhirnya membentuk pameran. Waktu saya menata portofolio terakhir, rasanya seperti menata rumah: ada barang lama yang harus disingkirkan, ada yang harus dibersihkan, ada yang harus dipajang supaya tamu tertarik masuk. Dalam tulisan ini saya ingin membagi bagaimana saya memilih karya, apa yang terjadi di balik layar pameran, dan makna yang sering menyelinap ke karya-karya itu.
Proses memilih karya: dari sketsa sampai gantung di dinding
Langkah pertama selalu kembali ke sketsa. Saya biasanya memiliki ratusan thumbnail kecil — coretan kasar, cat percobaan, atau potongan kertas dengan cat mengering. Dari situ saya coret yang punya kekuatan visual dan cerita. Kalau dipikir-pikir, memilih karya itu seperti memilih teman yang akan diajak ke pesta: siapa yang bisa ngobrol sepanjang malam, siapa yang buat suasana jadi hangat, siapa yang bikin semua orang penasaran. Tekniknya? Saya buat seri kecil dulu, lakukan studi warna, dan sering mengabaikan karya yang “bagus tapi tidak jujur”.
Supaya prosesnya tidak berantakan, saya pakai spreadsheet sederhana: ukuran, bahan, tahun, dan catatan emosi. Kadang karya yang saya kira lemah jadi penopang narasi pameran. Misalnya, ada lukisan kecil yang sempat saya pikir “gagal”, tapi ketika disandingkan dengan tiga karya lain, ia jadi pintu masuk cerita. Itu yang membuat urutan di ruang pameran terasa penting—tidak sekadar estetika tapi ritme.
Mengapa pameran terasa seperti performance? (pertanyaan penting)
Pameran bukan hanya tentang karya di dinding. Ini tentang ritme ruang, pencahayaan, teks kuratorial, dan percakapan hari pembukaan. Pernah suatu kali saya menata ruang sampai larut, lalu kembali paginya hanya untuk menyadari bahwa arah cahaya membuat beberapa detail hilang. Saya belajar memasang lighting test, memindahkan karya beberapa sentimeter, dan membaca ulang label agar kalimatnya mendukung bukan menerangkan berlebihan.
Saya sering berpikir apakah pameran adalah performa: ya, karena ada momen ketika karya “dihidupkan” oleh penonton yang datang, berinteraksi, dan menafsirkan. Seorang pengunjung pernah berhenti lama di depan sebuah lukisan saya dan menangis. Tidak ada kata yang keluar dari mulutnya, hanya jari yang menunjuk ke sebuah goresan yang menurutnya mengingatkannya pada rumah lama. Momen itu mengajarkan saya bahwa makna karya bisa melampaui niat awal pembuatnya.
Curhat santai: pameran pertama, deg-degan, dan teh yang tumpah
Pameran pertama saya penuh kekacauan manis. Saya masih ingat menata frame sambil mengecek playlist, sambil berdoa supaya pengait tidak lepas. Ada momen konyol ketika seseorang menumpahkan teh ke sudut instalasi—panik, tentu saja. Tapi setelah beberapa pembersihan dan tawa, noda itu malah memberi tekstur baru pada karya sebelahnya. Pengalaman seperti itu bikin saya sadar bahwa seni hidup dari interaksi, dari kejadian tak terduga.
Di hari pembukaan, saya berdiri di pojok sambil mendengarkan percakapan orang-orang tentang karya saya. Ada yang berdiskusi serius tentang simbol, ada yang hanya bilang “enak dilihat”. Semua itu berharga. Feedback yang paling jujur sering datang dari teman yang tidak terlalu mengerti seni: komentar mereka membumi dan mengingatkan saya untuk tidak terlalu mengawang-awang ketika menjelaskan karya sendiri.
Menggali makna: cerita di balik goresan
Setiap karya menyimpan lapisan makna—ada yang eksplisit, ada yang tersembunyi. Saya cenderung menulis catatan kecil tentang niat awal, referensi, dan memori yang melatarinya. Kadang makna lahir belakangan, setelah komentar pengunjung, setelah saya membaca ulang sebuah puisi, atau setelah kopi pagi yang mengingatkan pada masa kecil. Makna bukan monolit; ia berubah seiring waktu dan konteks pameran.
Untuk inspirasi dan contoh penataan portofolio, saya sering menyelami situs dan portofolio online. Salah satu yang membuat saya kagum adalah laurahenion—cara penataan karya dan narasinya mengingatkan saya untuk menjaga keseimbangan antara estetika dan cerita. Melihat pekerjaan orang lain membantu membuka cara pandang baru tanpa harus meniru.
Penutup: portofolio sebagai perjalanan berkelanjutan
Di akhir hari, portofolio adalah peta perjalanan. Ia merekam keputusan-keputusan kecil yang kemudian membentuk identitas artistik. Pameran adalah momen perayaan dan evaluasi: apa yang berhasil, apa yang perlu diubah, siapa yang kita ingin ajak bicara berikutnya. Saya masih terus belajar menata, merapikan, dan membiarkan kegagalan menjadi teman—karena biasanya dari situ muncul gagasan paling jujur.
Kalau kamu sedang menyiapkan portofolio atau merencanakan pameran, saran saya sederhana: jaga kejujuran dalam karya, biarkan ruang bicara untuk penonton, dan siapkan teh ekstra—karena mungkin akan tumpah, dan itu bisa jadi yang terbaik.
Kunjungi laurahenion untuk info lengkap.