Ketika saya pertama kali menyusun portofolio seni, rasanya seperti menata kenangan. Bukan hanya gambar-gambar yang rapi di folder digital, tetapi jejak proses, keputusan yang salah, keberanian bereksperimen, dan kadang rasa malu yang akhirnya berubah jadi sesuatu yang berharga. Portofolio bagi saya bukan sekadar kumpulan karya paling “sukses”, melainkan peta perjalanan kreatif yang buka-bukaan tentang bagaimana sebuah karya lahir dan mengapa ia ada.
Apa yang mau ditunjukkan: karya atau cerita di baliknya?
Saya sering bertanya pada diri sendiri: apakah pengunjung butuh melihat teknik saya atau lebih tertarik mengetahui alasan di balik pemilihan tema? Jawabannya berubah-ubah tergantung konteks. Untuk galeri, kurator mungkin ingin melihat konsistensi tema atau perkembangan teknik. Untuk kolektor, ada pula yang mencari koneksi emosional. Makanya saya menaruh foto proses dan catatan singkat di samping tiap karya. Kadang cuma satu kalimat: “Melukis di pagi hujan membuat warna terasa lebih jujur.” Sederhana, tapi itu membuka relasi yang berbeda antara karya dan penikmatnya.
Cerita di balik proses: mengapa itu penting
Proses kreatif saya tidak pernah linier. Saya mulai dengan sketsa kasar, lalu menumpuk cat, mengikis, menempel bahan lain, dan kemudian menunggu beberapa hari untuk melihat apakah karya itu masih “jujur” atau malah terasa palsu. Ada proyek yang gagal total. Ada yang hampir sempurna lalu saya hancurkan karena begitu melihatnya terasa klise. Semua itu saya dokumentasikan. Foto proses, catatan mood, referensi visual—semuanya saya susun seperti jurnal. Ketika menunjukkan portofolio, bagian proses sering kali membuat orang lebih dekat. Mereka bukan hanya melihat hasil akhir; mereka ikut menyusuri keputusan kecil yang membawa karya pada bentuknya sekarang.
Bagaimana pameran mengubah karya: pengalaman pribadi
Pengalaman pertama saya pameran tunggal membuat jantung berdebar. Ruangan putih, lampu, orang yang berdiri lama di depan satu lukisan—itu pengalaman yang mengajari banyak hal. Karya yang terlihat bagus di dinding studio bisa kehilangan konteksnya bila tidak diberi narasi. Di pameran itu, saya menulis teks pendek di bawah tiap karya dan meletakkan beberapa catatan proses. Ternyata, pengunjung menghargai konteks tersebut. Beberapa karya yang tadinya dianggap “eksperimen” mendadak menjadi titik pembicaraan utama. Saya belajar bahwa kurasi dalam pameran adalah cerita juga—bagaimana karya disusun, bagaimana lampu diarahkan, sampai di mana kita mau memaparkan proses secara terbuka.
Pilihan format: fisik vs digital, mana yang lebih jujur?
Sekarang era digital memudahkan menampilkan portofolio ke seluruh dunia. Saya punya versi online yang lebih ringkas dan versi cetak yang lengkap dengan sampel tekstur dan cetakan jepretan proses. Masing-masing punya kelebihan. Di layar, warna bisa berbeda tapi jangkauannya tak tertandingi. Di ruang fisik, tekstur dan ukuran asli berbicara sendiri. Saya suka mengarahkan calon pembeli atau kurator ke kombinasi keduanya: “Lihat dulu secara online untuk gambaran, datang ke studio supaya kita bisa ngobrol sambil melihat aslinya.” Dan iya, saya sering mencari inspirasi tata letak portofolio di situs-situs artis lain; salah satunya yang cukup inspiratif adalah laurahenion, cara ia menenun proses dengan hasil itu mengena bagi saya.
Ada juga soal kejujuran dalam memilih apa yang dimasukkan. Dulu saya takut menyisipkan karya yang belum “sempurna”. Sekarang saya sadar, memasukkan eksperimen—yang mungkin tidak selesai—justru menunjukkan keberanian bereksperimen. Itu bagian dari narasi berkembang sebagai seniman.
Saat menutup portofolio, saya selalu menambahkan bagian refleksi: apa tujuan tiap proyek, apa yang dipelajari, apa pertanyaan yang masih menggantung. Bagian ini sering jadi pemantik diskusi saat pameran atau presentasi. Orang bisa melihat bahwa karya bukan petir yang turun tiba-tiba, melainkan percakapan panjang antara intuisi dan kerja keras.
Jadi, bagi saya portofolio seni adalah wajah dan suara sekaligus: wajah yang memperlihatkan hasil, dan suara yang menjelaskan proses, alasan, dan makna. Susunlah bukan hanya untuk memamerkan “apa yang sudah jadi”, tapi juga untuk mengajak orang masuk ke proses, ikut merasakan keragu-raguan, kegembiraan, dan harapan yang menyertai tiap sapuan kuas atau potongan kertas. Itu yang membuat portofolio benar-benar hidup.